KEMLADHEYAN NGAJAK SEMPAL
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti benalu mengajak patah.
Pepatah ini dalam masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk petuah atau
sindiran bagi orang yang menumpang pada seseorang, namun orang yang
menumpang itu justru menimbulkan gangguan, kerugian, dan bahkan
kebangkrutan bagi yang ditumpanginya.
Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan
dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut
tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman
yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang
ditumpanginya untuk patah.
Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau
semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke
hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu
bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini
hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan
keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang
yang punya rumah induk justru terusir karenanya.
Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa
sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah
keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang
indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya
sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur
urusan rumah tangganya.
Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang
yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak
dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan
untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami
kebangkrutan atau bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya.
SAPA NANDUR BAKAL NGUNDHUH
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa menanam akan menuai.
Secara luas pepatah ini berarti bahwa apa pun yang kita perbuat di dunia
ini akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat. Ibarat orang
menanam pohon pisang, ia pun akan menuai pisang di kemudian hari. Jika
ia menanam salak ia pun akan menuai salak di kemudian hari.
Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika
kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun
akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau
bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum
keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan
pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.
Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut
merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan “mematikan” orang lain,
bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari.
Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa
juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.
Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram
sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu
mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah
anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu
sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya
barangkali bisa sama.
AMEMAYU HAYUNING BUWANA
Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia.
Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen
bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi
dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam
pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.
Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah
indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia
yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu.
Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan
perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan
berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang
merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat,
licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan
seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.
Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam
pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang
dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan
yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan
pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi
bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana
mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan
karya (kerjanya) bagi dunia.
WANI NGALAH LUHUR WEKASANE
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.
Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna
tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun
bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya
dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani
mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika
persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.
Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah
(sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di
kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa
begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk,
putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai
siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang
akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.
Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk
bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur
serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini.
Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti
itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari
sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan
itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang
berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika
kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan
itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang
menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia
atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
ALLAHE DHUWIT, NABINE JARIT
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti Gusti Allahnya uang, nabinya
kain. Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan orang yang hidupnya
hanya memburu uang atau harta benda, kemewahan, dan kenikmatan. Sehingga
yang ada di dalam otak dan hatinya hanyalah bagaimana mendapatkan uang,
kemewahan, dan kenikmatan hidup itu. Bahkan untuk mendapatkan itu semua
ia rela melupakan segalanya. Baik itu etika, moral, kebajikan, dan
seterusnya. Tidak ada halangan apa pun sejauh itu semua ditujukan untuk
mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan. Artinya, uang, kemewahan,
dan kenikmatan adalah segala-galanya.
Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua
orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada
pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.
KEBO NYUSU GUDEL
Pepatah tersebut di atas secara harfiah berarti kerbau menyusu gudel.
Gudel adalah nama anak kerbau. Jadi pepatah itu menunjukkan sebuah
logika yang terbalik atau dibalik.
Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta
pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya.
Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan
punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika
semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan
atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.
KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung.
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang
pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik
dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed
kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya
yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau
ibu rumah tangga).
Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali
(karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga
kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa
pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur
kesrimpet tersebut.
Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh
hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal
demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan
hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan
sebagainya).
GUPAK PULUTE ORA MANGAN NANGKANE
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tidak makan nangkanya tetapi
terkena getahnya. Secara luas pepatah Jawa ini ingin menunjukkan sebuah
peristiwa atau kiasan yang menggambarkan akan kesialan seseorang karena
ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko buruknya.
Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang
melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang
yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya
yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes
itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang
kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.
Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang
persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia
dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu.
Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang
dengan merdeka seperti tanpa dosa.
GELEM JAMURE EMOH WATANGE
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau jamurnya tidak mau bangkainya.
sourcePepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang)
yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa
dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau
organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang
dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor,
takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh
yang tidak berkelas, dan sebagainya.
Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak
mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau
arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang
lain.
Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah
kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak,
ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan
tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu
justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya
makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.
KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam
tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam
tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak
akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.
Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran,
referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan
tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan
berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang
pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam
tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya
sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di
luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya
agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.
Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong
atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau
pengetahuannya masih sedikit/dangkal.
SAPA GAWE BAKAL NGANGGO
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa
membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut bermakna bahwa siapa
pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya,
bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan
bertanggung jawab.
Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan
itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya
merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau
hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang
mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena
mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan
mungkin kepada famili dan keturunannya.
Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka
alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan
hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat
jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan
dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin
juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan
menerima akibat atau resikonya.
TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon) jarak menjadi
banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat
diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang
akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan. Sedangkan tanaman
jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas
baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang
induknya.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan
kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari
kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi
penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi,
namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya
adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak
memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang
besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti
atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.
ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA
Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau
menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh
atau garus keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan
menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.
Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak
menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai
sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu
hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri
lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang
bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.
Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap
orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan
kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya
keturunan orang
hebat
berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan
atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar
cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang
yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi
orang lain dengan kelihaiannya berbicara.
Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang
atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda
yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu.
Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.
Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian
besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan
kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika
terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar
(saking beratnya).
Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia
menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala
hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan
lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di
seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu
menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.
ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN
Pepatah Jawa tersebut secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat
tidak senggolan. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan
untuk menggambarkan keberadaan kekasih atau Tuhan.
Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan
orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di
sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu
sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada
di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu
berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di
hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.
Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan
bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh,
seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak
dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati
masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.
SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari
(lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti
satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi)
selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah
dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang
sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan
taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat
dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas
kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan.
Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah
mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain.
Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang
kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau
tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu
identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar
boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
NABOK NYILIH TANGAN
Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara
luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.
Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada
orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin
menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang
lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun
dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah
dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara
demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu
sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang
menimpa orang yang kena “pukul” itu.
Ketika orang yang “dituju” dengan meminjam tangan orang lain itu
berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya
pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan
dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.
AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA
Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.
Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan
sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak
akan dihargai oleh orang lain.
Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui
tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan
bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun
pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang
tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak
tepat penempatannya.
Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita
datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan
perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa
menempatkan diri.
Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita
mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang
tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan
tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.
ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri.
Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu
gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan
bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja
sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu
ajal belaka.
Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang
menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan
digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah
merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini
ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.
TUNA SATAK BATHI SANAK
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.
Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang
pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang
Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan
sedulur ‘saudara’ atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya
memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang
(material).
Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh
lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika
diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan
keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat
transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur
‘menyaudara’ dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan
membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang
demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan
ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi
jual beli di masa lalu.
Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan
owel ‘sungkan/enggan’ memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang
sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau
material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan
membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar
karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang
berupa satak (satu ukuran uang).
Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.
ASU BELANG KALUNG WANG
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.
Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang
secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang
tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan
yang berlimpah.
Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering
digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki
derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak
digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya
itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa
masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.
Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak
dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga
pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki
uangnya).
NGUNDHUH WOHING PAKARTI
Peribahasa di atas secara harfiah berarti memanen buah
pekerjaan/tindakan. Secara luas peribahasa ini ingin mengajarkan tentang
orang yang menuai dari buah tindakannya sendiri. Hal ini dapat
dicontohkan misalnya karena seseorang selalu mencelakai atau merugikan
orang lain, maka pada suatu ketika ia pun akan diperlakukan demikian
pula oleh orang lain.
Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham
kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh
banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan
adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan
pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana
banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi
bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang
yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan
keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini
mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang
negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan
keturunannya.
NULUNG MENTHUNG
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti menolong mementhung. Secara
luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang perilaku orang yang
kelihatannya nulung (menolong), namun sesungguhnya ia mementung
(memukul/mencelakai) orang yang ditolongnya itu.
Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan
uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal
ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian
orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus
mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia
malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur
meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta
bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.
Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong
temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar
dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu
semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang
yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan
dan bahkan oleh teman yang lainnya.
Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan.
Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide
itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya
belaka.
ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI
Pepatah Jawa di atas berarti kehilangan satu telur. Pepatah Jawa ini
secara luas ingin menyatakan tentang kepasrahan atau keputusasaan
seseorang (biasanya orang tua) atas perilaku anaknya yang dianggap sudah
di luar batas.
Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang
demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa
pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah
tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua
akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada
anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa
pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini
orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa
ditolong lagi tersebut.
Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat
induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah
direlakannya hilang.
NAPAKAKE ANAK PUTU
Pepatah Jawa di atas secar harfiah berarti bertapa untuk anak cucu.
Napakake berasal dari kata tapa atau bertapa. Napakake berarti bertapa
untuk.
Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang
hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan
kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai
keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak
lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan bertapa (laku prihatin).
Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon
keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan
yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan
pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih.
Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.
Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu
sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap
menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal
semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani
sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak
mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan
bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan.
Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka
hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka
dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu
sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya
bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan
lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.
Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.
KAYA NGENTENI THUKULE JAMUR ING MANGSA KETIGA
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau.
Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas
(mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban.
Kelembaban tidak berkait erat dengan air.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa
mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan
ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim
kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun.
Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.
Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim
kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah
terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa
juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama
sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak
berjuntrung.
WIT GEDHANG AWOH PAKEL
Pepatah Jawa di atas secara harfiah diartikan ‘pohon pisang berbuah
pakel’ (sejenis mangga yang sangat harum aromanya jika matang namun agak
asam rasanya).
Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang
yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya
saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.
Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa
mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan,
mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk
menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau
dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat,
petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya
sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan
semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan
yang dipandang baik dan benar itu.
Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian
disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni
angel ‘omong mudah melaksanakan sulit’.
KAYA NGENTENI KEREME PRAU GABUS, KUMAMBANGE WATU ITEM
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti seperti menantikan tenggelamnya perahu gabus, mengapungnya batu hitam (batu kali).
Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat
muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak
muskil untuk muncul ke permukaan air.
Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang
sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin
saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang
sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini
juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada
sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.
Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi,
maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus,
kumambange watu item.
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di
tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan
daya.
Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia
pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau
siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan
oleh Ki Hadjar Dewantara itu.
Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya
sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau
contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik
dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara
keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan
tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar
ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun
anak buahnya.
Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi
maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak
buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga
dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang
baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari
gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak
buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.
Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia
bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa
bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia
hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.
Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia
bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya
sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.
KUTUK MARANI SUNDUK
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti kutuk (jenis ikan air tawar yang
relatif besar) mendekati sunduk (penusuk/suji). Secara luas pepatah ini
ingin menyatakan tentang kejadian atau peristiwa dari seseorang atau
sekelompok orang yang mendatangi atau mendekati bahaya atau hal yang
dapat membuatnya celaka.
Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk
itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada
manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan
tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam
dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada
orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang
tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat
diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi
marabahaya.
MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti diam-diam mengantongi
kreneng. Kreneng dalam khasanah Jawa menunjuk pada pengertian sebuah
benda menyerupai keranjang yang terbuat dari bilah bamboo yang diraut
tipis dan lentur. Kreneng ini berfungsi untuk membungkus atau mewadahi
barang-barang belanjaan yang dibawa oleh seseorang. Umumnya kreneng
berfungsi sebagai kantong atau tas sementara yang kemudian bisa dibuang
begitu saja setelah barang yang berada di dalamnya dikeluarkan.
Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang
yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak
omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah
mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah
itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah
itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.
DIJUPUK IWAKE AJA NGANTI BUTHEG BANYUNE
Pepatah di atas secara harfiah berarti diambil ikannya jangan sampai keruh airnya.
Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam
atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau
sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut
diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau
bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak
atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa
diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau
butek.
Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan
kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai
menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya
pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun.
Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar
masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun
segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut
disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.
Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega.
Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik
pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya
tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa
ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko.