A.
Pendahuluan
Menurut kepercayaan sebagian
masyarakat (Jawa: Gugon Tuhon) bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria
tertentu itu dalam hidupnya di dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk. Ruwatan
adalah suatu upacara atau ritual yang bertujuan untuk mengusir nasib buruk atau
kesialan yang ada pada seseorang. Upacara adat Jawa ini masih sering dilakukan,
terutama di Jogjakarta dan Jawa Tengah serta Jawa Timur. Dipercaya bahwa
setelah adanya ritual ini, maka kehidupan seorang yang diruat akan menjadi
lebih baik, sejahtera dan lebih beruntung.[1]
Pengertian diatas hanya sebagian
kecil mengenai tradisi ruwatan, dibawah ini akan dibahas lebih spesifik asal
muasal dan dasar hukum tradisi ruwatan.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana asal muasal tradisi ruwatan?
2. Bagaimana dasar hukum ruwatan?
C.
Pembahasan
1. Asal Muasal Adanya Ruwatan
Dalam cerita pewayangan ada seorang
tokoh yang bernama "BETHORO GURU" atau "SANG YANG GURU",
dia beristrikan dua orang istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak
laki-laki bernama WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi
pekerti baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak
laki-laki bernama BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang
jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk
dimakan. Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan
tetapi pilihlah jalma seperti dibawah ini:
a. Untang-Anting yakni anak tunggal
laki-Iaki.
b. Unting-Unting yakni anak tunggal
perempuan.
c. Kedono-Kedini yakni dua anak
laki-Iaki dan perempuan.
d. Kembang Sepasang yakni dua anak
perempuan.
e. Uger-Uger Lawang yakni dua anak
laki-laki.
f. Pancuran Keapit Sendang yakni tiga
anak, perempuan, laki-laki dan perempuan.
g. Sendang Keapit Pancuran yakni tiga
anak, laki-laki, prempuan dan laki-laki.
h. Cukit-Dulit yakni tiga anak
laki-Iaki.
i. Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.
j. Pandowo yakni lima anak laki-laki.
k. Gotong Mayit yakni tiga anak
perempuan.
l. Sarimpi yakni empat anak perempuan.
m. Ponca Gati yakni lima anak
perempuan.
n. Kiblat Papat yakni empat anak
laki-laki dan perempuan.
o. Pipilan yakni lima anak, empat
perempuan dan satu laki-laki.
p. Padangan yakni lima anak, satu
perempuan em pat laki-laki.
q. Sepasar yakni Lima anak laki-laki
dan perempuan.
r. Pendowo Ngedangno yakni tiga anak
laki-laki dan satu perempuan.
Dalam mitos orang Jawa, cerita
diatas secara turun temurun masih diyakini kebenarannya, sehingga menurut
Shohibur riwayah agar Bethoro Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti
tersebut diatas, dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN"
untuk anak yang bersangkutan.
Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa
Ruwatan yang diyakini oleh
kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan
terhindar dari mara bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:
·
Mengadakan pagelaran wayang; Sebagai pemandu pagelaran ini,
dipilih seorang "DALANG SEJATI". Lakon yang dipentaskan, lakon khusus
"MURWO KOLO".
·
Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo.
·
Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan
mantra-mantra dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon
mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO yang jahat
itu).
Acara Ruwatan yang Islami.
Pada saat para wali bertabligh di
Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh
karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala
Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syari'ah, dan ada juga
unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari
alternatif lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang
Islami. Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada
mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru,
yaitu :
Amalan yang asalnya berbau Khurafat
(Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku yang bertendensi kepada syari'ah;
Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid; Amalan yang asalnya
berbau bid'ah, diarahkan kepada Sunnah. Dalam acara ruwatan yang Islami ini,
mbah Wali berinisiatif untuk melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai
dengan tuntunan syari'ah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan
tersebut antara lain :[2]
a. Membaca surat Yasin dengan cara
berjama'ah;
b. Membaca kalimah Thayyibah dan
shalawat Nabi
c. Memanjatkan do'a (memohon kepada
Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi
keselamatan di dunia dan akhirat;
d. Diadakan sekedar selamatan,
shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta upacara ruwatan.
2.
Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara
tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup
jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena
didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Bagaimana hukum ruwatan jika yang
dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah,
bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?
Jawaban masalah tersebut, bisa
diuraikan sebagai berikut:
a. Membaca surat Yasin dan Sholawat
Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju. Terlepas dari kesulitan dan
terhindar dari bermacam-macam kejahatan. Hal itu termasuk amalan yang
dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya “Idlohu
Mafahimis Sunnah”
وَمَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس
أَوْ غَيْرَهَا مِنَ الْقرآنِ للهِ تَعَالَى طَالِبًا الْبَرَكَةَ فِيْ الْعُمْرِ
وَالْبَرَكَةَ فِيْ الْمَالِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الصِّحَّةِ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ
عَلَيْهِ وَقَدْ سَلَكَ سَبِيْلَ الْخَيْرِ، بِشَرْطِ أِنْ لاَيَعْتَقِدَ
مَشْرُوْعِيَّةَ ذَلِكَ بِخُصُوْصِهِ. فَلْيَقْرَأْ يس ثَلاَثًا أَوْ ثَلاَثِيْنَ
مَرَّةً أَوْ ثَلاَثَمِائَةِ مَرَّةٍ بَلْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ للهِ
تَعَالَى خَالِصًا لَهُ مَعَ طَلَبِ قَضَاءِ حَوَائِجِهِ وَتَحْقِيْقِ مَطَالِبِهِ
وَتَفْرِيْجِ هَمِّهِ وَكَشْفِ كَرْبِهِ وَشِفَاءِ مَرَضِهِ، فَمَا الْحَرَجُ فِيْ
ذَلِكَ؟ وَاللهُ يُحِبُّ مِنَ الْعَبْدِ أَنْ يَسْأَلَهُ كُلَّ شَيْءٍ حَتىَّ
مِلْحَ الطَّعَامِ وَإِصْلاَحِ شِسْعِ نَعْلِهِ. وَكَوْنُهُ يُقَدِّمُ بَيْنَ
يَدَيْ ذَلِكَ سُوْرَةَ يس أَوِ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هُوَ إِلاَّ مِنْ بَابِ التَّوَسُّلِ بِاْلأَعْمَالِ
الصَّالِحَةِ وَبِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ. وَذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَى
مَشْرُوْعِيَّتِهِ. إهـ إيضاح مفاهيم السنة ص: 11
Artinya
:
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat
lain dalam Al-Qur'an karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya,
harta bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan
orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap
adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca
surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah
AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi
hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan
kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah menyukai orang yang
memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu sampai dengan urusan garam untuk
dimakan atau memperbaiki tali sandal. Adapun orang tersebut sebelum berdo'a
membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan
tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya
Tawassul ini disepakati oleh para ulama.
إِنَّ فِيْ الْقُرْآنِ لَسُوْرَةً تَشْفَعُ
لِقَارِئِهَا وَتَغْفِرُ لِمُسْتَمِعِهَا، أَلاَ وَهِيَ سُوْرَةُ يس. تُدْعَى فِي
التَّوْرَاةِ الْمُعِمَّةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْمُعِمَّةُ؟ قَالَ
تَعُمُّ صَاحِبَهَا بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَتَدْفَعُ عَنْهُ أَهْوَالَ اْلآخِرَةِ.
وَتُدْعَى أَيْضًا الدَّافِعَةَ وَالْقَاضِيَةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ تَدْفَعُ صَاحِبَهَا كُلَّ سُوْءٍ وَتَقْضِيْ لَهُ كُلَّ
حَاجَةٍ ..... إِلَى أَنْ قَالَ: يس لِمَا قُرِئَتْ لَهُ. وَحِكْمَةُ اخْتِيَارِ
الصَّالِحِيْنَ فِي اسْتِعْمَالِهَا التَّكْرَارَ كَأَرْبَعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ
أَحَدٍ وَأَرْبَعِيْنَ وَغَيْرِ ذَلِكَ شِدَّةُ الْحِجَابِ وَالْغَفْلَةِ عَلَى
الْقَلْبِ، فَبِالتَّكْرَارِ تَصْفُوْ مِرْأَتَهُ وَتَرِقُّ طَبِيْعَتَهُ. إهـ
تفسير صاوي جزء ثالث ص 317
Artinya:
"Sungguh dalam Al-Qur'an itu
ada satu surat yang memberi syafa'at kepada pembacanya dan memohonkan ampunan
untuk pendengarnya, ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat
surat ini disebut "AL -MU'IMMAH". Ditanyakan : apa itu Al-Mu'immah Ya
Rasul ? Rasu!ullah menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara
keseluruhan kabajikan di dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi
pembaca. Surat ini disebut juga "AD-DAFI'AH" dan
"Al-QODLIYAH". Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ?
Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan
meyebabkan tercapainya segala hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan
sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya.
Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan
berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain
sebagainya, hal itu karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka
dengan dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati
kita dan menjadi lunaklah tabi'atnya.[3]
b. Beristighatsah dengan niat
bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala urusan, baik
urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh
Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ. الدُّعَاءُ فِيْ اْلأَصْلِ السُّؤَالُ
وَالتَّضَرُّعُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فِيْ الْحَوَائِجِ الدُّنْيَوِيَّةِ
وَاْلأُخْرَوِيَّةِ الْجَلِيْلَةِ وَالْحَقِيْرَةِ. وَمِنْهُ مَا وَرَدَ:
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ
إِذَا انْقَطَعَ. وَقَوْلُهُ أَسْتَجِبْ لَكُمْ أَيْ أُجِبْكُمْ فِيْمَا
طَلَبْتُمْ. إهـ تفسير صاوي جزء رابع ص 13
Artinya:
"Dan Tuhanmu berfirman
"Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60).
Do'a menurut aslinya ,adalah memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT
dalam segala kebutuhan duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil.
Ada anjuran untuk berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu
sekalian memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali
san dalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku
(Allah) akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.
c.
Mengadakan selamatan/menghidangkan
hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga
rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang
bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara bahaya.
Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda :
الصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا
مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ. رواه الخطيب عن أنس رضي الله عنه. إهـ الجامع الصغير ص
190
Artinya:
"'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh
macam balak (mushibah)". HR. Khotib
Dengan
demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin, shalawat Nabi dan lain
sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk rnendekatkan diri kepada Allah
dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa juga rnenjadi haram jika tidak
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mengandung larangan agama,
bahkan bisa jadi kufur, jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan
hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam hasil keputusan bahtsul
masa'il NU Jatim halaman 90 :
إِنْ قُصِدَ بِتَصَدُّقِ ذَلِكَ الطَّعَامِ
التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ لِيَكْفِيَ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ الْجِنِّ لَمْ يَحْرُمْ،
لأَنَّهُ لَمْ يَتَقَرَّبْ لِغَيْرِ اللهِ كَمَا لاَ
يَخْفَى لِلْمُصَنِّفِ. وَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْجِنَّ فَحَرَامٌ، بَلْ إِنْ
قَصَدَ التَّعْظِيْمَ وَالْعِبَادَةَ لِمَنْ ذُكِرَ، كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا
قِيَاسًا عَلَى نَصِّهَا فِي الذَّبْحِ.
Artinya:
"Apabila menshodaqohkan
makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar
terhindar dari kejahatan jin, maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada
selain Allah. Apabila ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila
bertujuan mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan
kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabhi).
Nabi Saw bertanya kepada sahabat Mu'adz: bagaimana
cara kamu memutuskan perkara (wahai Mu'adz), di saat kamu memberi keputusan? Sahabat Mu'adz menjawab: aku putuskan dengan
kitab Allah, Nabi Saw bertanya: bagaimana apabila kamu tidak menemukan hukumnya
di dalam Al Quran? Sahabat Mu'adz menjawab: dengan Sunnah Rasulullah, Nabi Saw
bertanya: bagaimana apabila kamu tidak menemukan hukumnya di dalam Al Quran dan
Sunnah Rasulullah, Sahabat Mu'adz menjawab: aku berijtihad, dan aku tidak
sembrono dalam berijtihad. Kemudian Nabi Saw menepuk dada shahabat Mu'adz
seraya berseru: segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan RasulNya
menuju hal yang diridloi olehNya dan RasulNya (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
D. Analisis
Dalam mitos orang jawa, bila seseorang ingin menghilangkan
nasib buruk atau kesialan, tradisi ruwatan masih diyakini kebenarannya. Mereka
percaya bahwa setelah ritual ini, kehidupan atau nasib seseorang akan menjadi
lebih baik/ beruntung.
Jika acara ruwatan dilaksanakan dalam tradisi jawa,
tentu saja tidak boleh karena didalam ritual ini mengandung unsur-unsur
yang menyimpang dari ajaran islami. Seperti membuat sesaji untuk memuja
sesuatu, membaca mantra-mantra untuk tolak balak, itu sama sama musrik. Tetapi
jika acara ruwatan dilaksanakan secara islami, diperbolehkan karena
acara tersebut diwarnai dengan amalan islami sesuai dengan tuntutan syari’ah
dan berpegang pada aqidah yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Utomo Setiawan, Fiqih
Aktual : Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Hal 251
http:// www. Aneahira. Com? Adat-jawa-tengah. Html tanggal
04-04-2013
http://
Ppalanwar. Com/ index. Php/ news/ 454/ 37/ Tradisi-Ruwatan/ d, Biografi- html
tanggal 04-04-2013
0 komentar:
Posting Komentar