MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS IBADAH DAN DASAR HUKUMNYA (Ta’adud Al-Jum’at)


A.    Pendahuluan
Kondisi peribadatan umat Islam dari masa ke masa telah banyak mengalami kemajuan dibidang sarana dan prasarana. Meskipun, dalam segi kualitas banyak mengalami penurunan. Minimnya pengetahuan agama terkadang juga banyak menimbulkan masalah. Seperti yang terjadi dalam ritual sholat jum’at, dimana dalam setiap pelaksanaannya sering memunculkan beberapa fenomena menarik. Misalnya saja, aturan lokasi pelaksanaan sholat jum’at yang menurut sebagian kalangan harus terpusat disatu tempat.
Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menurut sebagian masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik, dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi ditengah-tengah mereka adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu. Tentunya persoalan ini perlu kita luruskan, sehingga ada kejelasan, apakah sholat jumat dibeberapa lokasi mempunyai legalitas dalam syariat? Ataukah hal itu sekedar dispensasai pada saat faktor-faktor tertentu muncul ke permukaan?
Untuk mencari jawabannya, dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum melaksanakan sholat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al-jum’at), dan bagaimana penyelesaian tentang masalah tersebut.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian shalat  jum’at?
2.      Bagaimana dasar hukum mendirikan dua shalat jum’at dalam satu wilayah (Ta’adud Al-Jum’at)?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian sholat Jum’at
Kata Al-Jum’at berasal dari  kata ijtima’. Ia disebut hari jum’at karena pada hari itu penciptaan Adam dihimpun dari air dan tanah.[1] Shalat jum’ah disyariatkan di Makkah pada malam Isro’. Namun saat itu belum dapat dikerjakan karena waktu itu pemeluk Agama Islam masih sedikit belum ada empat puluh orang, sehingga tidak menetapi syarat sholat jum’at. Dan baru dikerjakan setelah beliau Nabi hijrah ke Madinah, dan pertama mengerjakannya adalah As’ad bin zuroroh bersama Mush’ab bin Umair, persisnya di Quba’.
Shalat Jum'at merupakan salah satu kewajiban umat Islam atas orang-orang pria yang beriman (mukmin), dewasa (baligh), merdeka, sehat jasmani dan rohani, serta tidak sedang bepergian jauh (musafir). Oleh karena itu, orang-orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum' at tidak boleh meninggalkannya. Agar shalat Jum'at dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman meninggalkan segala bentuk perdagangan atau pekerjaan lain yang dapat menghalang-halangi atau mengganggu pelaksanaan ibadah shalat Jum' at.
Perihal wajibnya shalat jum’at untuk setiap individu sudah menjadi kesepakatan kalangan fuqaha. Dasarnya, karena sholat jum’at merupakan pengganti kewajiban lainnya, dalam hal ini ialah salat Zhuhur. Disamping itu karena firman Allah (QS. Al-jumu’ah: 9)
  
 تَعْلَمُونَ كُنتُمْ إِن خَيْرٌ ذَلِكُمْ اْلبَيْعَ وَذَرُوا اللهِ ذِكْرِ إِلَى فَاسْعَوْا  الْجُمْعَةِ يَوْمِ مِن لِلصَّلاَةِ  نُودِيَ إِذَ ءَآمَنُوا يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ
     
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”( QS. Al-jumu’ah: 9)
Disamping itu, ada sabda Nabi Saw:
عن عبد الله بن عُمَرَ وأبى هريرة رضي الله عنهما أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللهِ صلعم يقول على أعوادمنبره: لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ اْلجُمُعُاتِ أَوْلَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَي قُلُوبِهِمْ. (أخرجه مسلم والنساءي)
“hendaklah khalayak menghentikan pembangkangannya terhadap shalat jum’at, atau Allah (perlu)mengunci hati mereka.” (HR. Muslim dan nasai)[2]

          Hadist riwayat imam muslim dari Abdullah Ibn Mas’ud:
عن عبد الله بن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ أنَّ النَّبِيَّ صلعم قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمْعَةِ: لَقدْ هَممْتُ أَنْ اَمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَ رِجَالٍ يَتخلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيوْتَهُمْ (رواه مسلم، انظر صحيح مسلم، الجزء الاول، بيروت: دار الكفر، ١٩٩٣، ص:. ٩٢(
“ Nabi Saw berkata kepada kaum yang meninggalkan shalat jum’at: ‘saya sudah berniat untuk memerintahkan seorang laki-laki agar menjadi imam shalat, kmudian saya akan membakar rumah oran-orang yang meninggalkan shalat jum’at.”[3]

Hadis Thariq bin Syihab dari Nabi Saw, beliau bersabda:
 الجُمْعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلى كُلِّ مُسْلِمٍ إِلَّا أَرْبَعةٌ عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ اَمْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ
“Shlat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap orang muslim kecuali atas empat orang: budak belian, wanita, anak-anak, atau orang sakit.”[4]
Syarat wajib shalat jum’at ada tujuh:
1.      Beragama islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Sehat bermukim
6.      Laik-laki
Sedangkan syarat pelaksanaannya adalah:
1.      Dikerjakan pada waktu zhuhur
2.      Didirikan di tengah-tengah pemukiman, baik dalam kota (misrho), desa (balad), atau dukuh (quryah)
3.      Dikerjakan dengan berjamaah minimal 40 orang
4.      Didahului dua khutbah.[5]

2.      Hukum pelaksanaan ta’adud Al-Jum’at
Ta’adud Al-Jum’at sebagai istilah pelaksanaan sholat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu balad atau qaryah, merupakan permasalahan yang diakibatkan kondisi yang serba kompleks. Mulai dari percekcokan, kapasitas tempat, jarak, jaminan keamanan, cuaca, hingga luasnya batas teritorial satu balad atau qaryah bisa menjadi faktor pemicu terjadinya ta’adud al jum’at.
Menyikapi perkembangan diatas, mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan sholat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al- Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa sholat jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat (faktor yang mendesak) ataupun tidak. Namun istinbath dari ulama Syafi’iyyah dalam permasalahan ini akhirnya bervariasi sebagian memperbolehkan dengan batasan hajat tertentu dan yang lain tegas mengatakan tidak diperbolehkan dengan mendasarkan pada pendapatnya pada nash sharih (statement tegas) dari Al-Syafi’i.
Ta’addud jum’at berbeda dengan jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya-ul jum’ah ba’da jum’ah). Ta’adud jum’ah ialah berbilangnya penyelenggaraan jamaah jum’at dalam satu masa di suatu tempat, dan hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana keputusan mukhtamar NU di situ bondo, November 1984, dalam masalah nomor 359.[6] Sementara Jum’atan dua Shif/angkatan atau lebih (Insya-ul Jum’ah ba’da Jum’ah) adalah penyelenggaraan Shalat Jum’ah lebih dari satu di suatu tempat, atau  menyelenggarakan Shalat Jum’at secara bergantian ( bertahap), karena terbatasnya kapasitas tempat, atau karena alasan lain. Hukumnya tidak sah.
Hal-hal Yang Membolehkah Ta’addud Jum’at
Hal-hal yang membolehkan ta’addud al jum’at, secara umum terangkum dalam satu kata, yaitu ‘usrul ijtima’ (sukar berkumpul) di tempat yang satu. Hal-hal yang bisa menyebabkan ‘usrul ijtima:
·         Tidak ada tempat yang memuat semua ahli jum’at dengan tanpa masyaqqah (kesukaran).
·         Ada konflik di antara mereka.
·         Daerah yang terlalu luas, sehingga orang yang berada di kawasan pesisir tidak akan sempat mencapai tempat pelaksanaan jum’at tepat waktu jika berangkat setelah terbit fajar.
Pendapat sebagian ulama mengenai Ta’addud jum’at diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu antara lain tercantum dalam kitab:
 القليوبي ج ١/ ص ١٧٧ : وَمِنْ جَوَازِهِ أَيْضًا وُقُوْعُ خِصَامٍ وَعَدَاوَةٍ بَيْنَ أَهْلِ جَانَبِيِ الْبَلْدَةِ وَإِنْ لم تَكُنْ مَشَقَّةً
(Al-Qalyuubi, I/ 177): Di antara sebab yang memperbolehkannya juga adalah terjadinya pertengkaran dan permusuhan antara dua kelompok di dalam satu desa, meskipun tidak ada kesulitan.

تنوير القلوب ص ١٨٦ : وَإِنْ تَعَدَّدَتِ الْحَاجَةُ فَجُمُعَةُ الْكُلِّ صَحِيْحَةُ، سَوَاءٌ وَقَعَ إِحْرَامُ الْأَءِمَّةُ مَعًا أَوْ مُرَتَّبًا.
(Tanwir al-qulub, hal 186): jika banyak kebutuhan yang tidak bisa dihindari maka shalat jum’at masing-masing kelompok tersebut sah, tidak peduli apakah takbiratul ihram masing-masing imam bersamaan atau berurutan.[7]

Para Ulama’ Syafi’i berpendapat, barang siapa yang ketinggalan Shalat Jum’at karena sesuatu uzur atau lainnya, maka di sunahkan untuk Shalat Zhuhur berjama’ah. (Al-Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah, juz I, hlm. 406)
Memperhatikan pelaksanaan Jum’at di masa Rasulullah SAW, di mana Shalat Jum’at hanya dilakukan di Masjid Nabawy padahal ada Masjid-masjid lain yang di lingkungan para shohabat untuk sholat lima waktu, juga memcermati makna syari’at dalam penegakan jum’at dan makna pelaksanaannya, yaitu untuk menyatukan kaum muslimin dan mendekat hubungan antara sesama mereka, dimana telah ada mesjid ditegakkan jum’at di sekitar kantor, serta memperhatikan bahwa Nabi SAW dan para shohabatnya tidak pernah melakukan jum’at di dalam perjalanan, bahkan hanya beliau lakukan di mesjid yang telah ditetapkan, maka seharusnya apa yang disebutkan dalam pertanyaan tidaklah terjadi dan seharusnya mereka menegakkan jum’at bersama kaum muslimin yang lainnya di mesjid yang telah ada.
Pada masa Rasulullah SAW Shalat Jum’at hanya dilaksanakan dalam satu masjid. Kemudian sejalan dengan meningkatnya jumlah pemeluk agama Islam sehingga tidak dapat ditampung dalam satu masjid, maka shalat Jum’ at dilaksanakan dalam beberapa masjid sesuai dengan kebutuhan. Kenyataan tidak bisa dipungkiri, setelah beberapa kurun ritual sholat jum’at hanya dilakukan disatu tempat, akhirnya muncul juga masyarakat yang melakukannya lebih dari satu tempat. Searah dimulainya adalah pada masa Dinasti Abbasiyyah, yaitu kurun antara pemerintahan Al-Rosyid sampai Al-Watsiq. Peristiwa itu terjadi di tahun 280 H, masa setelah 76 tahun wafatnya al-Syafi’i. [8]
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah:
سَمِعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ لَيَنْتَهَيِّنَ أَقْوَامٌ عَنْ وَدَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ       
                              (رواه مسلم)عِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لِيَكُونَنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا                                             
Artinya:
“Hendaklah kaum muslimin (umat Islam) menghentikan kebiasaan mereka meninggalkan shalat Jum’at, atau Allah akan menutup pintu hati mereka sehingga mereka termasuk orang-orang yang lupa (kepada Allah SWT) “. (Nailul Authar Juz 3 halaman 226).
Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, dari sahabat Abu al- J a’ ad, sebagai berikut:
وَسَلَّمَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَنْ أَبِي الْجَعْدِ يَعْنِي الضَّمَرِيَّ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ فِيْمَا زَعَمَ مُحَمَّدٌ بْنُ عُمْرٍ وَقَالَ قَالَ رَسُوْلُ (رواه الترمذي) تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّ
Artinya:
“Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, maka Allah SWT akan menutup pintu hatinya”.
Jika memungkinkan, shalat Jum’ at hanya dilaksanakan satu kali dalam satu masjid di setiap kota atau desa. Hal ini dimaksudkan untuk menghimpun umat Islam dalarn satu tempat sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusyu’, menciptakan syi’ar Islam, memperkuat ukhuwwah Islamiyyah, memperkokoh persatuan dan kesatuan umat serta menumbuh kembangkan ruh at-ta’awun dalam jiwa mereka karena merasa sarna-sarna menjadi hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan ibadah dan mengabdi kepada-Nya. Tapi jika tidak memungkinkan karena ada hajat (kebutuhan) seperti luasnya wilayah kota atau desa, sulitnya menghimpun umat Islam dalam satu masjid, sulitnya mempertemukan dua kelompok umat Islam yang saling bermusuhan, banyaknya jumlah jamaah jum’at sehingga tidak dapat ditampun dalam satu masjid, jauhnya jarak antara satu wilayah pemukiman umat Islam dengan pemukiman yang lain dan sebagainya, maka shalat Jum’at dapat dilaksanakan di beberapa masjid atau bangunan sesuai dengan kebutuhan (hajat).
D.  Analisis
Melihat perkembangan tata geografis saat ini, batas teritorial satu balad atau qaryah terkonsentrasi pada wilayah yang luas, yang kemudian terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil. Maka dari itu pelaksanan sholat jum’at  juga tidak hanya dilaksanaan dalam satu tempat (ta’dud al Jum’at), selain itu kapasitas tempat yang tidak memadai untuk menampung para jamaah, adanya jaminan keamanan, cuaca, juga menjadi faktor pemicu terjadinya hal tersebut. Ta’adud al jum’at boleh dilakukan apabila memang  ‘usrul ijtima’ (sukar berkumpul ) yang didasari oleh tidak adanya tempat yang memuat semua ahli jum’at dengan tanpa masyaqqah (kesukaran), ada konflik di antara mereka, daerah yang terlalu luas, sehingga orang yang berada di kawasan pesisir tidak akan sempat mencapai tempat pelaksanaan jum’at tepat waktu jika berangkat setelah terbit fajar.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah. 2009.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani. 2002.
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI . Jakarta: Erlangga. 2007.
Tim pembukuan MANHAJI. Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail. Kediri: MHM Lirboyo. 2005.
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/03/hukum-mendirikan-dua-shalat-jumat/
http://www.as-salafiyyah.com/2012/05/hal-hal-yang-membolehkah-taaddud jumat.html
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/01/hukum-shalat-jumaat-ke-2-bagi-karyawan.html


0 komentar: